Rabu, 12 Oktober 2011

Rekonstruksi Syari'at Islam (Pemikiran Khalil Abdul Karim Tentang Hubungan Islam Dan Tradisi Lokal)


REKONSTRUKSI SYARI’AT ISLAM
(Pmikiran Khalil Abdul Karim Tentang Hubungan
Syari’at Islam Dan Tradisi Lokal)
Oleh Siti Mahmudah, S.Ag, M.Ag

ABSTRACK

Back to read the historical reality of how Islam is derived in the midst of a people known as 'Ignorance' by most people but not for some people who belong to the wise. As figure Khalil Abdul Karim did not want to mention Arabs as the Pre-Islamic Ignorance is the opposite because they are among the civilized and knowledgeable human height. As evidence God has provided a challenge to them so they could create works that are able to match the verses are referred to as the revelation of God in the Qur'an, if not able to do more, it is enough to make comparable with that mentioned in al-Qur 'an as mu'zizat of God bestowed on the Qur'an and entrusted to the Prophet Muhammad. This theory was used by Khalil Abdul Karim in order to answer any conflict between Islamic law that developed in the era of the contemporary world, have no concept of dialogue between Islamic law and local tradition that the two must keep going along in rhythm and in the theory and practice of life community wherever and whenever.

Keywords: Islamic Shari'ah, Local Tradition


I.                   Pendahuluan
“ … Religion … is an expression of the whole man”. [1] Agama di mata manusia merupakan sesuatu yang sangat berharga, bermakna bahkan ada yang sangat fanatik sekali dalam mempertahankan kebenaran agamanya kecuali hanya bagi minoritas tertentu saja yang tidak mementingkan agama dalam kehidupannya. Sementara itu, menurut hasil penelitian para antropolog, diketahui bahwa dalam setiap bentuk masyarakat, betapa pun sederhananya, di samping “religi” juga terdapat unsur apa yang disebut “sistem nilai budaya” (cultural value system) yang ternyata sangat efektif pengaruhnya, terutama dalam hal memberi arah dan orientasi bagi kehidupan masyarakat.[2] Agama dan tradisi lokal dipandang sebagai dua komponen yang sulit dipisahkan antara yang satu dengan lainnya. Agama dan tradisi lokal bersentuhan dengan begitu intens, sehingga sulit untuk melakukan diferensiasi antara nilai-nilai agama dan tradisi lokal itu sendiri. Hubungan antara keduanya sering disebut dengan istilah antocracy atau cosmik totality.[3]
Agama dan tradisi lokal merupakan sebuah fenomena yang sangat menarik untuk dikaji dan diteliti sedari dulu sampai sekarang. Dalam sejarah kehidupan manusia --sebagai makhluk sosial— agama dan tradisi lokal merupakan dua hal yang tidak dapat terpisahkan. Tradisi lokal mempunyai posisi yang penting dalam agama dan masyarakat. Dimana antara keduanya saling tarik menarik, siapa yang harus rela mengalah demi  yang lain, padahal keduanya sama-sama dibutuhkan dalam sebuah masyarakat sejak dulu sampai sekarang. Hal ini disebabkan adanya kecenderungan alamiah manusia untuk meyakini yang Maha Tinggi, demikian juga mereka mempunyai kebiasaan melakukan apa yang biasa dilakukan oleh nenek moyangnya, itulah yang dinamakan tradisi. Dalam unkapan Jawa terkenal dengan  istilah “mikul dhuwur, mendhem jero” (menjunjung tinggi nama baik, memendam segala yang merusak nama baik), yaitu melestarikan adat para leluhur.[4]
Namun demikian ada sebuah kejanggalan-kejanggalan yang berkembang dalam masyarakat  saat ini, yaitu  adanya pendapat bagi kebanyakan orang  bahwa syari’at Islam merupakan hukum Tuhan yang sakral dan tidak bisa lagi diganggu gugat. Syari’at Islam diyakini sebagai produk murni Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, tanpa ada campur tangan dari mana pun.[5] Salah satu contoh konkritnya adalah munculnya gagasan untuk menjadikan syari’at Islam sebagai dasar dan pegangan di beberapa kawasan di Indonesia, yaitu lahirnya peraturan-peraturan daerah yang bercorak syari’at Islam. Penerapan syari’at Islam di daerah-daerah yang seluruhnya diawali dengan pemaksaan kewajiban berbusana muslimah, yang diteruskan dengan penegakan aturan dan prilaku yang dianggap “Islami” telah meminggirkan dan merendahkan khazanah lokal: busana, tradisi, adat-istiadat, aturan, dan ajaran yang selama ini dipandang sebagai kearifan lokal. Anasir-anasir lokal itu tidak lagi dipahami kearifan, namun kekafiran yang harus dienyahkan.
Sumber utama arus ini berasal dari pemahaman bahwa syari’at Islam adalah konsep yang telah final, sempurna, dan tunggal. Dalam istilah yang sering dipakai “Islam Kafah”, Islam dalam pandangan kelompok Islam keras adalah sebuah totalitas yang tidak mengenal kerendahan hati untuk membuka ruang dialog dan mengakui kesetaraan bagi kearifan-kearifan yang lain. Totalitas dalam watak ini menjadi totalitas yang otoriter. Totalitas hanya mengakui kesempurnaan yang satu, tidak ada yang lain. Apabila sebuah konsep dipahami secara totaliter, lahirlah manusia yang memiliki watak tertutup dan sikapnya yang hanya bisa memaksa. Konsep totalitas ini bertentangan dengan hukum-hukum alam yang senantiasa mengenalkan perubahan. Oleh karena itu, konsep tersebut yang dari dasarnya tidak bebas dari kekurangan sejak lahir, namun diyakini konsep yang sempurna—tidak bisa dijalankan kecuali melalui modus-modus pemaksaan dan penaklukkan.

Fenomena tersebut merupakan bagian dari berbagai macam fenomena yang menggambarkan adanya konflik dan ketegangan antara syari’at Islam dan tradisi lokal. Muncul satu hal yang menjadi persoalan, yaitu apakah tradisi lokal  yang berkembang dalam masyarakat harus tunduk dalam ekspresi syari’at Islam (corak Arab), ataukah syari’at Islam haruslah melakukan proses mutasi untuk beradaptasi dalam naungan tradisi yang hidup di masyarakat?

 Adanya konflik dan ketegangan  antara Syari’at Islam dan tradisi lokal telah melahirkan syari’at Islam  yang terlihat tidak humanis, cenderung keras,  tidak ada toleransi, tidak demokratis, tidak nasionalis, tidak menghormati tradisi lokal, dan termasuk tidak menghargai perempuan.

Pada hakekatnya tujuan syari’at Islam adalah untuk mewujudkan apa yang ada disebalik yang tersebut di atas, yaitu sebuah keadilan, humanis, nasionalis, tidak diskriminatif, menghormati tradisi lokal, menghargai wanita dan anti  teror. Dengan demikian syari’at Islam harus lebih terbuka, toleran dan menjalin hubungan dengan yang lain.
Melihat persoalan tersebut di atas pembahasan dalam makalah ini akan dibatasi dan lebih difokuskan pada pemikiran Khalil Abdul Karim --seorang pemikir muslim liberal dari Universitas Kairo--  yang berpendapat bahwa sejak awal syari’at Islam di turunkan di atas bumi Arab bukan merupakan hukum Tuhan yang sakral. Syari’at Islam turun dalam arena tradisi lokal yang telah mapan. Syari’at Islam secara ramah tamah menyapa realitas yang ada pada waktu itu dengan tidak memberangus tradisi yang ada. Syari’at  Islam berusaha menjalin dialektika dengan lingkungan sekitar dan telah menghasilkan sebuah tatanan baru yang lebih baik bagi kehidupan masyarakat Arab pada waktu itu.  Titik tekannya adalah mencari sebuah hubugan yang benar, rasional dan relevan antara syari’at Islam dan tradisi lokal –tidak menyalahi agama dan tidak menyalahi tradisi lokal-- sebagai  tawaran sebuah ‘rekonstruksi syari’ah’ dalam menghadapi persoalan-persoalan di dunia kontempurer saat ini.
Selanjutnya untuk mewujudkan syari’at Islam dan tradisi lokal yang ideal  perlu ada sebuah pemikiran baru. Dalam hal ini Khalil Abdul Karim seorang tokoh intelektual asal Mesir,  penulis buku sejarah Islam periode awal yang bercorak kritis, Analisa-analisanya terhadap data-data sejarah terbilang bernas, berani dan menabrak pakem (berani mendobrak kemapanan yang dianggap salah). Ia  dikenal kritis dalam mengungkap sejarah Islam awal dengan mengambil basis kehidupan pra Islam, yaitu bangsa Arab yang memiliki masyarakat yang maju dan menjadi pusat peradaban (untuk tidak mengatakan bahwa masyarakat pra Islam adalah masyarakat jahiliyah). Ia  menawarkan sebuah teori dan pendekatan sebagai solusi mempertemukan  syari’at Islam dan tradisi lokal yang lebih relevan jika diaplikasikan pada era kekinian, termasuk di Indonesia. Selain dari itu perlu ada kritik terhadap pemikiran Khalil Abdul Karim, apakah pemikirannya akan membawa kemajuan atau kelemahan atau akan berimplikasi pada hukum Islam di Indonesia saat ini.  
Dengan demikian, genuinitas atau lokalitas Islam hakikatnya adalah hasil konstruksi sosial masyarakat lokal terhadap Islam yang memang datang kepadanya ketika di wilayah tersebut telah terdapat tradisi yang bercorak mapan. Islam memamg datang ke suatu wilayah yang tidak vakum tradisi. Makanya, ketika Islam datang ke wilayah tertentu maka konstruksi lokal pun turut serta membangun Islam sebagaimana yang ada sekarang.

II.                Metode Penelitian
Penulisan makalah ini bersifat kualitatif, dan pembahasan masalah serta analisis terhadap data yang ditemukan adalah berdasarkan pendekatan historis. Melalui pendekatan ini dapat dikemukakan penjelasan sejarah (historical explanation) yang meliputi : asal usul syari’at Islam, pertumbuhan, dan perubahan peristiwa masa lampau yang menjadi sebab adanya pergeseran pemikiran dan pemahaman  dari hal yang sebenarnya (realita menjadi fakta) kepada pemahaman beragam dan semu. Oleh karena pembahasan makalah ini berkenaan dengan masalah agama dan tradisi lokal, maka masa lampau yang dieksplanasi itu dilakukan berdasarkan pendekatan sejarah agama dalam hubungannya dengan trdisi lokal, yaitu realitas Islam dan syari’at Islam pada masa awal diturunkan.

Analisis terhadap dinamika syari’at Islam dalam hubungannya dengan tradisi lokal dilakukan secara sosiologis, yakni melalui konsep fleksibilitas (adaptabilitas) yang dapat diterapkan di dalam syari’at Islam sesuai dengan teori Khalil Abdul Karim bahwa Islam dan hukumnya bisa berlaku dimana dan kapan saja dengan tetap membaca realitas yang ada pada saat diberlakukannya.

Segala data yang berkaitan dengan topik masalah dipahami secara kualitatif, yaitu analisa data secara langsung ketika pengumpulan data dilakukan (mereview) data yang di peroleh baik dari sumber buku-buku maupun jurnal. Hasil review datanya disusun berdasarkan sistematika penulisan mulai dari pendahuluan, pembahasan, analisa dan simpulan untuk menjadi sebuah makalah yang utuh.
 
III.             Hasil Dan Analisa

A.    Biografi Khalil Abdul Karim Dan Karyanya
Khalil Abdel-Karim (خليل عبد الكريم )[6] lahir di Kota Aswan  Mesir. Tokoh kontroversial ini lahir pada tahun 1929 di satu desa kecil yang masuk dalam Provinsi Aswan, sebuah daerah di kawasan selatan Mesir yang berbatasan langsung dengan Sudan.
Setelah mencapai ijazah SLTA, Ia pergi ke Kairo untuk belajar Hukum di Universitas Fu’ad I Dar al-‘Ulum Kairo. Di perguruan tinggi terkemuka Mesir ini, Khalil Abdul Karim mempelajari ilmu hukum secara tekun di fakultas hukum (Kuliyyat al-Huqûq). Pada bulan Mei 1951, Khalil muda menyelesaikan jenjang S1-nya.  Setelah itu,  Ia menjadi pengacara magang di lembaga hukum yang didirikan Abdul Qadir ‘Awdah dan Ibrahim al-Thayyeb dan bergabung dengan Pengacara sindikat.  Selama dua tahun Ia menghabiskan waktunya sebagai pengacara trainee di kantor pengacara terkemuka Persaudaraan Muslim. Ia adalah seorang pengacara terlatih dan paling populer di Kairo. Ia menonjol dalam pembelaan kasus-kasus yang berkaitan dengan kebebasan berbicara dan berpikir. Ia adalah kepala tim pembela kasus Prof. Nasr Abu Zayd yang digugat Murtad dan harus memisahkan diri dari istrinya.
Selain kesibukannya sebagai pengacara,  Ia   telah bergabung dengan Ikhwanul Muslimin. Ia  berkeliling ke beberapa wilayah di Mesir dalam rangka mendakwahkan dan menyebarkan ajaran serta ideologi Ikhwan al-Muslimin kepada segenap lapisan masyarakat Mesir. Akibat aktivitas politiknya ini, pada masa pemerintahan Gamal Abdul Nasher, tepatnya di tahun 1954, Khalil Abdul Karim untuk pertama kalinya mendekam di tahanan. Pada tahun 1965, Khalil Abdul Karim kembali di tahan untuk kedua kalinya.
Naiknya Anwar Sadat sebagai presiden menggantikan mendiang Gamal Abdul Nasher diikuti dengan adanya perubahan iklim politik. Salah satu kebijakan politik Anwar Sadat yang mendapat apresiasi masyarakat adalah penerapan kembali sistem multi partai dalam kehidupan berpolitik. Salah satu partai politik yang berdiri pada masa ini adalah Hizb al-Tajammu’ al-Wathaniy al-Taqaddumiy al-Wahdawiy. Kepada partai politik ini, Khalil Abdul Karim memutuskan untuk berafiliasi. Ia  merasa bahwa Hizb al-Tajammu’ adalah satu-satunya kendaraan politik yang mampu membawa idealisme politiknya. Sebab dalam benaknya, visi dan misi partai ini yang berpihak pada kelas pekerja, buruh, petani dan kaum proletar, sesuai dengan ambisi perjuangan pribadinya. Kesesuaian cita-citanya dengan platform Hizb al-Tajammu’ al-Wathaniy al-Taqaddumiy al-Wahdawiy menjadikan Khalil Abdul Karim sebagai aktivis partai politik militan. Dia banyak bergerak dari satu daerah ke daerah lain untuk mengkampanyekan gagasan partai tersebut.

Peralihan sosok Khalil Abdul Karim yang religius menjadi pengikut Hizb al-Tajammu’ al-Wathaniy al-Taqaddumiy al-Wahdawiy yang sekuleristik sungguh di luar dugaan. Dia yang semula menjadikan gerakan Ikhwan al-Muslimin sebagai patron ideologinya beranjak menjauh dan lantas mengimani sosialisme (baca: Islam Kiri; al-Yasar al-Islamiy) sebagai sebuah ideologi pembebasan. Dengan serius, sebelum akhirnya memutuskan terlibat dalam Hizb al-Tajammu' al-Wathaniy al-Taqaddumiy al-Wahdawiy sebagai salah satu ketua lembaga keagamaan partai, dia turut mendirikan Mimbar al-Islam pada tahun 1976 yang mengumandangkan proyek al-Yasar al-Islamiy.

Salah satu faktor terpenting yang "memaksa" Khalil Abdul Karim meninggalkan Ikhwan al-Muslimin adalah cara yang dipilih gerakan Ikhwan al-Muslimin dan gerakan Islam Fundamentalisme lainnya dalam merealisasikan 'tujuan-tujuan mulianya'. Gerakan ini tak lagi mencukupkan diri dengan melakukan takfir lawan ideologinya dan menghalalkan darah masyarakat non muslim. Lebih parah, kelompok ini bahkan melakukan upaya pembunuhan para tokoh kenamaan seperti al-Dzahabi, Rif'at Mahjub, Anwar Sadat, Farag Fouda dan Nagib Mahfoudh. Khalil Abdul Karim sangat muak dengan cara-cara kekerasan (al-'unf al-diniy) yang dalam perspektif kalangan Islam Fundamentalisme dibenarkan oleh agama. Ketidaksetujuannya atas pola perjuangan kalangan Islam Fundamentalisme mendorongnya untuk banyak menuliskan karya-karya yang menghantam pemikiran keagamaan mereka.
 
Tokoh kita ini meninggalkan karya berupa buku berjumlah 13 buah (dalam versi lain, 11) yang banyak menuai kontroversi. Karya pertamanya berjudul "al-'Amal wa al-'Ummâl wa Mawqif al-Islam Minha" yang terangkum dalam serial "Kitab al-Ahâliy". Buku ini sesungguhnya merupakan sekumpulan naskah pidato politiknya dalam rangka kaderisasi partai yang isinya dengan sangat keras menghujat Islam. Wajar bila buku ini tak diterbitkan penerbit mana pun.

Praktis, publik mengenal bukunya yang berjudul "al-Judzur al-Tarikhiyyah li al-Syari'at al-Islamiyat" sebagai karya Khalil Abdul Karim pertama yang diterbitkan secara luas. Karya-karyanya yang lain adalah: "Li al-Syari'at La li Thatbiq al-Hukm", "al-Usus al-Fikriyah li al-Yasar al-Islamiy", "Mujtama' Yatsrib; al-'Alaqat bayn al-Rajul wa al-Mar'at fi al-'Ahdayn al-Muhammadiy wa al-Khalifiy", "al-'Arab wa al-Mar'at; Hafariyat fi al-Isthir al-Mukhayyam", "Qurays; min al-Qabilat ila al-Dawlat al-Markaziyat", "Syadw al-Rababat bi Ahwal Mjtama' al-Shahabat", "al-Nash al-Mu'assis wa Mujtama'uhu", "al-Islam; Bayn al-Dawlat al-Diniyyat wa al-Dawlat al-Madaniyyat", dan "Fatrat al-Takwin fi Hayat al-Shadiq al-Amin".

Khalil Abdul Karim   yang masyhur sebagai pengacara dan pemikir progresif telah wafat pada tanggal 14 April 2002 dan dimakamkan di kampung halamannya, Aswan.[7] 
Books of Khalil Abdel Karim: All in Arabic with some translations:
  • "For Applying Shari'a not for Governing"
  • "Man-women Relationship during the prophetic and caliphate periods the soiciety of yathrib"
  • "The Historical roots of Islamic shari'a"
  • "qurayish: from tribe to state"
  • "Islam between the civil and islamic state"
  • "Shadou Rababa bi ahwal mujtama'al-sahaba"
  • "The Arabs and the women"
  • "The state of yathreb The year of Delegates"
  • "Against the fundamentalism of Islamists"
  • "The Eslabished period of Mohamed"
  • "The Founding Concepts of the Islamic Left"

B.     Pemikiran Khalil Abdul Karim
1.      Tradisi Lokal
Tradisi lokal Arab merupakan bahan baku  Islam[8] (Bangsa Arab adalah materi Islam). Islam, dengan mengacu pada statemen ini, berhutang banyak pada Arab, di mana Nabi Muhammad saw menyampaikan risalah Allah, beserta sahabat-sahabatnya yang telah bahu membahu menyokong Nabi saw dan mengorbankan harta benda serta darah mereka demi lajunya syiar Islam awal. Jadi Arab merupakan sumber dari beragam hukum, norma, sistem, adat istiadat dan tradisi yang kesemuanya itu telah diwarisi oleh Islam, yaitu mencakup ritual peribadatan, sosial kemasyarakatan, ekonomi, politik, dan hukum.
Ritus-ritus peribadatan  --yang menjadi tradisi lokal-- warisan suku Arab dan penganut tradisi Hanifiyyah yang diadopsi dalam Islam, antara lain :
a.       Pengagungan Baitul Haram (Ka’bah) dan Tanah Suci
Sebelum Islam di Semenanjung Arabia terdapat 21 Ka’bah, tetapi seluruh suku Arab sepakat untuk mensucikan Ka’bah yang ada di Makkah dan berusaha keras untuk bisa melakukan ibadah  haji ke sana. Bahkan ada sejumlah suku yang sebagian anggotanya menganut agama Yahudi dan Nasrani ikut serta dalam melaksanakan ibadah di musim haji. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Arab mengugungkan Makkah,  Ka’bah dan penduduk Quraisy (Ahlul Haram), mengikuti jejak nenek moyangnya Ibrahim as dan Ismail as.
Setelah itu datanglah Islam mengabadikan pengagungan Ka’bah dan Makkah. Al-Qur’an al-Karim pun menyebutnya sebagai tempat yang aman dan damai (barangsiapa memasukinya maka ia akan aman).[9] Tutur seorang bijak bahwa pada hari kiamat nanti hanya kota Makkah dan Madinah --bernaung di dalamnya orang-orang yang saleh—tidak akan dimusnahkan oleh Allah.[10]
b.      Haji dan Umrah
Jauh sebelum Islam datang, bangsa Arab sudah menunaikan ibadah haji pada bulan Dzulhijjah. Setiap tahun, pada musim haji, mereka berdatangan ke Makkah dari segala penjuru untuk menunaikan kewajiban ibadah haji.[11] Ibadah haji dan umrah sudah menjadi tradisi bangsa Arab pra-Islam untuk menunjukkan rasa kepatuhan  terhadap apa yang telah diajarkan oleh nenek moyang mereka, yaitu Ibrahim as dan Ismail as yang menjadi kebanggaan dan vigur bangsa Arab pada waktu itu.
Penduduk Arab pra-Islam menjalankan ritual-ritual seperti yang telah dipraktekkan dalam Islam sejak awalnya sampai sekarang, yaitu : Talbiyah, ihram, memakai pakaian khas Ihram, membawa hewan korban dan mengumumkannya, wukuf di Arafa, menuju Muzdalifah, bertolak ke Mina untuk melempar jumrah, menyembelih korban, thawaf mengelilingi Ka’bah sebanyak 7 putaran (dan ini tidak ada penambahan dan pengurangan dalam Islam), sa’i antara bukit Shafa dan Marwah. Mereka menamai hari kedelapan Dzulhijjah dengan nama Yaum at-Tarwiyyah (hari Tarwiyah), wukuf di Arafah pada hari ke sembilan, dan pada hari ke sepuluh mulai menuju Mina dan melempar jumrah. Bahkan  mereka pun menyebut hari-hari itu sebagai hari Tasyrik. Mereka juga melaksanakan umrah di luar musim haji.[12]
Islam telah mewarisi hal tersbut di atas dengan rangkaian ritual yang sama persis berikut pengistilahannya. Hanya saja Islam membersihkan ibadah ini dari laku-laku syirik, seperti ungkapan-ungkapan yang terangkum dalam talbiyah mereka. Islam juga melarang berthawaf secara telanjang (tanpa busana).[13] Namun apa yang menjadi alasan bangsa Arab melakukan prosesi berthawaf sambil telanjang dengan alasan bahwa mereka sangat mengagungkan Ka’bah dan Hajar Aswad. Mereka tidak mau menggunakan pakaian yang pernah digunakan untuk berbuat dosa dalam  melakukan thawaf, karena hal itu tidak sesuai dengan kesucian keduanya, sedang mereka tidak mempunyai baju yang lain lagi dari yang mereka punya. Sebagian dari mereka ada yang membeli baju dari orang-orang Quraisy untuk busana thawaf dengan persepsi bahwa putera-putera Quraisy merupakan orang-orang yang suci dan disiplin dalam beribadah.


c.       Sakralisasi bulan Ramadhan
Menurut informasi sejarah bahwa setiap datang bulan Ramadhan, Abdul Muthalib mengencangkan kain sarung (yang membelit pinggangnya), lalu bertolak menuju goa Hira’ untuk berkhalwat di sana, serta menginstruksikan agar menjamu kaum miskin sepanjang bulan Ramadhan.[14] Apa yang dilakukan oleh kakek Nabi ini juga telah dilakukan oleh Nabi sebelum Beliau menerima wahyu dari Allah melalui Malaikat Jibril. Nabi berkhalwat berhari-hari memohon secercah petuntuk dari yang Maha Esa dalam rangka menghadapi permasalahan umat yang Beliau saksikan pada waktu itu.
Ayat al-Qur’an yang mengangkat derajat bulan Ramadhan dan menaikkan nilainya sudah sangat masyhur : “ Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia.[15] Di dalamnya terdapat malam kemuliaan (lailatul qadr) yang lebih baik dari seribu bulan.[16] Sakralisasi bulan mulia ini merupakan tradisi Arab pra-Islam yang diwarisi Islam dan menjadi sumber dasar dalam Islam, karena pada bulan ini juga terjadi peristiwa besar dan menjadi tonggak sejarah lahirnya Islam, yaitu mrupakan hari pertama kalinya al-Qur’an diturunkan sebagai wahyu kepada Nabi Muhammad, yaitu tepatnya jatuh pada tanggal 17 Ramandhan yang masih diperingati oleh umat Islam sampai sekarang sebagai hari Nuzul al-Qur’an.
d.      Mengagungkan bulan-bulan Haram
Bangsa Arab menganggap bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab sebagai bulan-bulan suci (al-Asyhur al-Hurum), karena bulan-bulan tersebut mrupakan rentang waktu pelaksanaan ibadah haji menuju Ka’bah terbesar dan paling suci, yaitu Ka’bah Makkah (bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram). Sedangkan bulan Rajab adalah waktu pelaksanaan ibadah umrah.[17] Demikian juga telah ditetapkan bahwa dalam keempat bulan suci ini sebagai fase gencatan senjata dan kesempatan menunaikan ibadah haji dan umrah.
Pada masa Islam datang juga turut mengabadikan tradisi penyucian bulan-bulan tersebut di atas dan mengharamkan peperangan di dalamnya. “Mereka bertanya tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah : Berperang dalam bulan ini adalah dosa besar”.[18] Penegasan lain, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram”.[19] Lebih ditegaskan lagi bahwa dalam Islam bulan Rajab telah menjadi salah satu bulan kemuliaan yang masih diperingati sepanjang tahunnya oleh umat Islam dengan alasan bahwa di dalam bulan tersebut merupakan bulan di mana Nabi Muhammad saw diperintahkan Isra’ dan Mi’raj, yaitu tepatnya jatuh pada tanggal 27 Rajab Nabi Muhammd saw Isra’ dari masjidil Haram ke Masjidil Aqsa dan naik sampai ke Sidratul Muntaha (langit yang ke tujuh). Dalam peristiwa inilah Allah menurunkan perintah shalat kepada Nabi Muhammad saw untuk diajarkan kepada umatnya.
e.       Penghormatan kepada Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as.
Bangsa Arab, jauh sebelum kemunculan  Islam, sudah meyakini bahwa Ibrahim as dan Ismail as adalah orang yang mendirikan bangunan Ka’bah di kota Makkah al-Mukarramah dan yang mewajibkan mereka untuk berhaji. Selanjutnya mereka pun mengagungkan Ka’bah serta mengikuti jejak tradisi Ibrahim as dan Ismail as.
Bangsa Arab mengakui bahwa orang yang pertama kali berbahasa Arab dari keturunan Ibrahim as adalah Ismail as, Allah mengajarkannya langsung kepada Nabi Ismail as. Demikian juga bahwa Nabi Ismail as mendapat julukan ‘Irq ats-Tsam, berarti orang yang kuat  dan kekar, karena ayahnya Nabi Ibrahim as tidak terbakar oleh api dan tidak tergoda oleh kekayaan.[20]  
Tatkala Islam datang, ia turut menetapkan penghormatan kepada Ismail as. Dalam al-Qur’an dinyatakan : “Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam al-Qur’an. Sesungguhnya Ia adalah seorang yang benar janjinya.”[21]
f.       Pertemuan umum pada hari Jum’at
Tradisi Jum’at ini sudah berlaku pada zaman pra-Islam.  Begitu  Islam datang, para sahabat Anshar di Yatsrib – yang kemudian dikenal dengan sebutan Madinah—menjalankan tradisi ini. Orang yang pertama kali mengumpulkan kaum muslimin di Madinah adalah As’ad bin Zararah ra. Diceritakan bahwa ketika Rasul melakukan hijrah pada hari Jum’at, dari Makkah, dan melewati perkampungan Bani Salim bin Auf yang terletak di tengah-tengah oase, Rasul mempraktikkan tradisi Jum’at, di mana di tengah-tengah oase tersbut kemudian dibangun masjid. Rasulullah saw pun kemudian mengumpulkan mereka di sana untuk menunaikan shalat Jum’at dan untuk yang pertama kalinya Rasul berkhotbah di Madinah.[22] Kemudian turunlah firman Allah : “Hai orang-orang yang beriman apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bergeserlah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.[23]
g.      Tradisi penganut Hanifiyyah
Tradisi-tradisi yang dikembangkan oleh kalangan Hunafa’ antara lain : 1) penolakan untuk menyembah berhala dan keengganan berpartisipasi dalam perayaan-perayaan yang diselenggarakan sebagai bentuk penghormatan atas berhala-berhala tersebut; 2) pengharaman binatang sembelihan yang dikorbankan untuk berhala-berhala dan juga penolakan untuk memakan dagingnya; 3) pengharaman riba; 4) pengharaman meminum arak dan penerapan  vonis hukuman bagi peminumnya; 5) pengharaman zina dan penerapan vonis hukuman bagi pelakunya; 6)  beri’tikaf di goa Hira’ sebagai ritual ibadah pada bulan Ramadhan, disertai aktivitas memperbanyak amal kebajikan dan menjamu kaum miskin sepanjang bulan Ramadhan. Aktivitas tersebut paling menonjol dilakukan oleh Abdul Muthalib (kakek Rasulullah saw), dan Zaid bin Amr bin Naufal (paman Umar bin Khathab ra); 7) pengharaman memakan bangkai, darah dan daging babi;  8) larangan mengubur  hidup-hidup anak perempuan dan pemikulan beban-beban pendidikan mereka; 9) menjalankan puasa; 10) khitan; 11) mandi jinabat; 12) kepercayaan kuat pada kebangkitan kembali, kehidupan mendatang, dan hisab (perhitungan amal) yang berkonsekuensi bahwa siapa yang melakukan amal kebajikan akan masuk surga, dan siapa yang melakukan amal keburukan akan masuk neraka; dan 13) keimanan pada satu Tuhan dan seruan untuk menyembah-Nya.
h.      Poligami
Bangsa Arab pra-Islam membolehkan praktik poligami tanpa batasan maksimum dan mereka juga tidak memperkenankan pembatasan jumlah istri.[24] Ketika Islam datang, ia ikut melegitimasi praktik poligami. “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat.”[25]
i.        Asal usul pungutan sepersepuluh
Suku-suku Arab sering menarik pungutan atau retribusi dari kafilah-kafilah dagang sebagai imbalan perlindungan yang mereka berikan pada kafilah-kafilah tersebut saat melintas di tanah mereka, atau sebagai kompensasi melewatinya. Kompensasi itu merupakan pajak yang mengandung unsur paksaan dan tekanan dengan jumlah nominal tertentu. Tidak ada yang berani membayar secara sukarela dan atas kemauan sendiri selain kafilah-kafilah suku Quraisy. Dari sinilah Imam Abu Ubaid al-Qasim bin Salam menyatakan bahwa penarikan sepersepuluh termasuk tradisi Jahiliyah.[26]
Tatkala Islam datang, tradisi ini pun terus berlanjut dan tetap eksis seperti sedia kala, hanya istilahnya saja yang berubah dari ju’alah menjadi ‘usyur, yaitu bea cukai yang diberlakukan atas harta kekayaan dan komoditas dari usaha dagang ahlul harb dan ahludz dzimmah yang melewati perbatasan Islam. Orang yang pertama kali menerapkan sistem ini adalah Umar bin Khathab.[27]
j.        Al-Istijarah dan al-Jiwar
Bangsa Arab kuno memiliki tradisi menyewa pengawal pribadi, yang biasa disebut istijarah jika posisinya sebagai orang lemah Yang membutuhkan pelindung, dan disebut jiwar jika ia orang kuat yang memiliki musuh-musuh/penghalang.  Jika ada yang bilang : Si Fulan berada dalam jiwar-ku, atau Si Fulan telah meng-istijarah aku, maka itu berarti ia telah mengabdikan dirinya untuk melindungi dan mencegah segala marabahaya yang mungkin menimpa diri, keluarga dan istri orang yang meminta perlindungan.
Jadi praktik jiwar atau istijarah merupakan tradisi yang telah mendarah daging di kalangan suku-suku Arab sebelum wahyu diturunkan kepada Muhammad saw, yang kemudian diteruskan oleh Islam. Dengan kata lain begitu Islam muncul, Islam langsung menyetujui tradisi suku-suku Arab yang telah ada sebelumnya, dan suku-suku tersebut juga setuju dengannya. Lebih lanjut, tradisi ini ditegaskan dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi.[28]
k.      Kehormatan Nasab
Keluarga Arab kuno adalah model keluarga patriarki. Terma ini meniscayakan dua  makna : Bapak adalah poros tali kekerabatan dalam keluarga. Sedangkan anak mengikuti garis keturunan ayah dan keluarga ayahnya. Sementara ibu dan anggota keluarga lainnya dianggap sebagai orang-orang asing (bukan keluarga) baginya.[29]
Begitu Islam datang, ia ikut melegitimasi urgensitas nasab ini, bahkan memberinya nilai yang sama sebagaimana yang telah dinikmati oleh bangsa Arab sebelumnya, sampai-sampai Islam menempatkan penghapusan nasab sebagai sebuah tindakan criminal yang bisa divonis hukum.[30]
l.        Perbudakan
Abbas Mahmud al-Aqqad mempunyai sebuah adagium yang begitu dibangga-banggakan dan sering ia lontarkan : “Islam mensyari’atkan pembebasan budak, dan tidak mensyari’atkan perbudakan”.[31] Islam memang tidak mensyari’atkan perbudakan, akan tetapi ia tetap membolehkannya, dan tidak tegas-tegas mengharamkannya. Rasul saw sendiri memiliki budak laki-laki dan budak perempuan.
m.    Ritus-ritus hukuman
1)      Al-‘Aqilah
Dalam kontek hukuman pidana atau kriminal terdapat sejumlah objek kajian yang dapat dijadikan sampel untuk menunjukkan seberapa jauh pengaruh tradisi-tradisi tribal Arab pada yurisprudensi syari’at Islam, misalnya qishahs (yang pada asalnya adalah penuntutan balas dendam di kalangan suku-suku Arab atas terbunuhnya anggota keluarga atau sukunya),[32] juga diyyat dan urusy (sejumlah harta yang wajib dibayarkan sebagai denda kriminal selain jiwa).[33]
Al-‘Aqilah selanjutnya menjadi bagian tersendiri dalam pembahasan yurisprudensi Islam. Dalam kitab-kitab yurisprudensi kriminal Islam modern, kasus ini ditempatkan sebagai salah satu bab dari sekian vonis hukuman.[34]
2)      Al-Qasamah
Syaikh Muhammad Ahmad Thanthawi menyatakan bahwa masyarakat Arab pra-Islam telah mengenal sistem qasamah dan menerapkannya di kalangan mereka.[35] Qasamah adalah sumpah lima puluh orang yang berasal dari locus tertentu yang di di dalamnya ditemukan korban pembunuhan misterius yang tidak diketahui identitas pembunuhnya, sementara wali pembunuhan menuntut kepada penduduk untuk membayar diyat. Para penduduk pun bersumpah bahwa mereka tidak membunuhnya, dan juga tidak mengetahui pelaku pembunuhan tersebut, kemudian ditetapkanlah diyat atas seluruh penduduk di locus tersebut.[36]
Begitu Islam datang, ia memberikan legitimasi hukuman qasamah ini. Berkaitan dengan hal ini, Prof. Ahmad Amin menyatakan bahwa Islam telah mengakomodir hukum adat Jahili, atau dengan kata lain adat-istiadat dan tradisi Arab masa Jahiliyah. Ia melegitimasi sebagian, dan mengganti sebagian yang lain. Contoh tradisi yang dilegitimasi Islam adalah qasamah.[37]

n.      Ritus-ritus peperangan

1)      Seperlima bagian rampasan perang
Kepala suku atau panglima tertinggi suku dalam peperangan, atau amir suku dalam penyerangan berhak mengambil seperempat rampasan perang yang berhasil direbut dari musuh, sementara yang tiga perempat dibagi-bagi pada pasukan.[38]
Setelah kedatangan Islam, bagian untuk pemimpin, panglima, atau amir tetap diprioritaskan, hanya saja Islam menguranginya dari seperempat menjadi seperlima. “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnussabil.”[39]
2)      As-Salb
As-Salb adalah sesuatu yang diambil oleh suatu pasukan dari orang yang dikalahkan atau dibunuhnya, berupa semua yang ia bawa, seperti baju besi, senjata, dan kuda.[40]

Tradisi Arab tribal ini kemudian ditransformasikan ke dalam syari’at Islam, layaknya ash-shafiyy (harta rampasan perang yang diambil oleh seorang pemimpin pasukan sebelum dibagi-bagi), tanpa ada modifikasi atau perubahan sedikit pun. Rasulullah saw telah memutuskan hak rampasan pribadi bagi pasukan tanpa mengambil seperlimanya lagi. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Auf bin Malik al-Asyja’i dan Khalid bin al-Walid, juga dari Salamah bin al-Akwa’, ia berkata : Nabi saw pernah dimata-matai oleh seseorang, spionase, dari kalangan kaum musyrikin selagi beliau dalam perjalanan. Beliau lalu duduk bersama sahabat-sahabatnya membincangkan sesuatu, kemudian si mata-mata tersebut (diam-diam lari) menyelinap, maka Nabi saw langsung berseru, “Kejar dia dan bunuh!” Salamah berkata Aku telah membunuhnya dan Nabi saw memberikan kepadaku seluruh barang yang aku rampas darinya.[41] 
3)      Ash-Shafiyy
As-Shafiyy adalah sesuatu yang diambil oleh panglima perang dari hasil rampasan perang dan dipilih untuk dirinya sebelum dibagi-bagikan. Ash-shafiyy juga biasa disebut dengan shafiyyah, dan kata pluralnya adalah shafaya.[42] Al-Jurjani mendefinisikannya sebagai ‘barang berharga’ yang dipilih oleh Rasulullah saw untuk dimiliki secara pribadi, seperti pedang, kuda perang, atau budak perempuan.[43]

Sebelum kedatangan Islam, seperlima dan ash-Shafiyy merupakan hak kepala-kepala suku. Sehingga permintaan Rasul saw atas hal tersebut kepada mereka menunjukkan otoritas kepemimpinan tertinggi Nabi saw atas suku-suku di Semenanjung Arab. Hal ini juga menunjukkan lebih banyaknya sumber pendapatan yang diraih oleh Nabi saw daripada suku-suku yang lain, sebab perang antar kelompok sudah terhenti setelah kedatangan Islam.[44]

Bahkan kedua sumber pendapatan ini (seperlima dan ash-Shafiyy), telah menjadi penyumbang terbesar pendapatan Negara pasca wafatnya Nabi saw, apalagi setelah ekspansi Islam ke wilayah-wilayah di luar Semenanjung Arab.[45]

o.      Ritus-ritus politik
1)      Khilafah
Telah menjadi tradisi tersendiri di kalangan suku-suku Semenanjung Arab bahwa pemimpin suku –secara mayoritas—dipilih dari kalangan elit, atau yang memiliki pengaruh dan kekuasaan (dalam masyarakat).  Ia, misalnya, haruslah seorang yang paling tua usianya di antara anggota-anggota suku, juga memiliki keberanian sekaligus pengalaman, serta yang paling banyak harta kekayaan, sekaligus kemurahannya. Pemilihan kepala suku ini ditangani oleh Majelis Suku (Parlemen Suku) yang terdiri dari orang-orang yang berpengaruh, dan kepala-kepala keluarga di lingkungan suku, juga setiap anggota yang telah mencapai usia 40 tahun dan memperoleh hak keanggotaan dengan kebebasan penuh untuk berbicara di tingkat pertemuan-pertemuan majelis.[46]

Dr. Husein an-Najjar mengatakan bahwa kaum muslimin tidak merasakan perubahan berarti antara pola pengaturan urusan mereka pada masa Jahiliah dengan apa yang dilakukan Islam, kecuali dari segi nilai-nilai (paradigma) yang mempengaruhi dan mengaturnya. Kepemimpinan Nabi Muhammad saw atas komunitas Islam pun tidak berbeda jauh dengan kepemimpinan kakek buyutnya, Qushaiy, atau suku Quraisy.[47]

Jadi sistem kepemimpinan dalam Islam (dalam hal  urusan public) tidak berubah dari sistem kepemimpinan yang dulu pernah ada sebelum Islam. Perubahannya hanyalah nilai-nilai (paradigma)-nya saja. Ini merupakan persoalan etis, bukan administrative atau politis.   Inilah jawaban mengapa Nabi saw tidak meletakkan dasar sistem pemerintahan, juga tidak menunjuk pemimpin penggantinya.
2)      Syura
Bangsa Arab telah mengenal mekanisme syura jauh sebelum Islam, bahkan merekalah (tribal)  yang kreatif menciptakan dan melahirkan syura.  Setiap suku tribal terbagi menjadi dua kategori warga : mala’ (elit-bangsawan) dan qabil (rakyat jelata).

Mala’ adalah kaum laki-laki yang telah berusia 40 tahun lebih, juga tokoh-tokoh terkemuka suku dan jajaran birokrat, serta dzawil ahlam (intelektual). Merekalah yang memilih seorang kepala suku atau pemimpinnya, kemudian juga duduk sejajar dengannya dalam bermusyawarah menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh suatu suku, menyangkut persoalan perang, politik, ekonomi dan sosial.  Ada pun warga qabil adalah anggota-anggota suku, baik warga asli maupun budak turunan. Kebanyakan  dari mereka adalah orang-orang fakir, kaum lemah, dan orang-orang renta. Mereka ini tidak memiliki hak duduk di majlis syura.[48]   Sistem syura inilah yang kemudian  difoto copy dalam Islam.

Pada masa Khulafa’ al-Rasyidin majlis permusyawaratan kaum muslimin terdiri dari pembesar-pembesar kaum Muhajirin dan Anshar. Setelah berkonsultasi dengan majlis, khalifah masih berdiskusi lagi dengan penasehat pribadinya, juga hulu balang dan birokrasi istana yang kemudian dalam fiqh Islam disebut dengan istilah ahlul halli wal aqdi,[49] atau ahlul ikhtiyar.[50]

Demikianlah bahwa  ritual-ritual tersebut di atas merupakan sampel-sampel yang diakui, dilegitimasi, difotocopy setelah   kedatangan  Islam, namun selebihnya masih banyak lagi tradisi Arab pra-Islam yang juga diwarisi oleh Islam. Memyimak apa yang telah terjadi dalam sjarah Islam pada awal diturunkan di hadapan masyarakat Arab yang lebih dikenal dengan sebutan Jahiliyah dan Tribal ini tentunya ada maksud yang tersembunyi yang selama ini belum terungkap. Datanglah sang pahlawan kebenaran Khalil Abdul Karim yang mencoba mengungkap data-data sejarah klasik sebagai teori baru  untuk ditampilkan di hadapan khalayak pada era kontmporer sekarang, yaitu kembali membaca realitas Islam dan syari’at Islam masa awal kenabian Muhammad saw di kota Makkah.

2.      Kontruksi Syari’at Islam
Syari’at Islam yang selama ini telah diyakini sebagai produk murni Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, tanpa ada campur tangan dari mana pun dan dari kelompok mana pun. Doktrin inilah yang telah menyebabkan lahirnya kefanatikan sekaligus kekonyolan bagi umat Islam sendiri. Islam menjadi kaku dan beku. Upaya adanya dialog telah dianggap menentang locus  dan memusuhi, serta penggalian terhadap sejarah secara kritis dianggap merongrong kewibawaan agama yang membahayakan.
Hal tersebut di atas lebih kelihatan panas lagi dengan munculnya slogan “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah, kembali pada ajaran Islam murni”   sebagai respon atas ditutupnya pintu ijtihad[51] setelah kehancuran Bagdad dari tentara mongol yang dikenal selama abad pertengahan Islam. Sebagai implikasinya lahirlah ajaran Islam yang diktator dan tidak mau peduli dengan apa pun yang terjadi walau pun banyak korban di sana sini termasuk adanya pembrangusan terhadap tradisi lokal sekali pun karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam yang murni. Sebagai contohnya adalah acara tahlilan, peringatan Maulid Nabi, ziarah ke makam para wali, berjabatan tangan antara laki-laki dan perempuan, pemusnahan pakaian adat yang dianggap tidak sesuai dengan pakaian yang diperintahkan dalam Islam karena dianggap tidak menutupi aurat, dan lain-lain. Kesemuanya yang disebutkan dalam contoh ini dianggap bid’ah dan harus diberantas habis untuk kembali pada ajaran yang telah dipraktikkan pada zaman Rasul. Tradisi tersebut dianggap menyimpang jauh dari ajaran Islam murni padahal praktik inilah yang menyebabkan Islam bisa diterima oleh masyarakat luas seperti di Indonesia karena dianggap tidak bertentangan dengan tradisi yang ada di dalam masyarakat Indonesia pada waktu itu bahkan sampai sekarang.
3.      Rekonstrusi Syari’at Islam
Syari’ah merupakan jalan yang ditetapkan oleh Tuhan dimana manusia harus mengarahkan hidupnya untuk merealisir kehendak-Nya[52]  atau dengan kata lain syari’ah merupakan kehendak ilahi, suatu ketentuan suci yang bertujuan mengatur
kehidupan masyarakat muslim. Syari’ah merupakan hukum yang diwahyukan Allah yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunah,  syari’ah itu pasti dan tidak berubah tetapi bukan berarti harus mempertahankan penafsiran yang salah tentang syari’ah. Penafsiran yang lebih relevan dengan kekinian harus terus diupayakan demi kemaslahatan hidup umat manusia.

Realita sejarah telah menunjukkan bahwa  banyak tradisi yang ada di masa pra-Islam diadopsi dan dipraktekkan oleh nabi Muhammad saw. Hal ini mengindikasikan bahwa Islam lahir tidak dalam rangka menghilangkan seluruh tradisi lokal yang berkembang dan dijalankan oleh masyarakat Arab pra-Islam. Nabi Muhammad banyak menciptakan aturan-aturan yang melegalkan hukum adat masyarakat Arab, sehingga memberi tempat bagi praktik hukum Adat di dalam sistem syari’at Islam.[53]  Sebagai bukti dari hal tersebut adalah adanya konsep sunah taqririyyah[54]  Nabi Muhammad. Hal ini mengisyaratkan bahwa Nabi tidak melakukan tindakan-tindakan perubahan terhadap hukum yang berlaku di masyarakat Arab, sepanjang hukum tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran dasar Islam.

Pada masa sahabat Nabi, hukum-hukum yang dibangun oleh para sahabat juga senantiasa memperhitungkan tradisi yang berkembang di masyarakat. Terutama  setelah masa penaklukan dimana kekuasaan dan pengaruh Islam semakin berkembang luas. Khalifah Umar misalnya, mengadopsi sistem diwan dari tradisi masyarakat Persia. Selain itu, Umar juga mengadopsi sistem pelayanan pos yang merupakan tradisi masyarakat Sasanid dan kerajaan Byzantium.[55]

Dalam pemikiran ulama fiqih, dapat dilihat pengaruh sosial budaya terhadap gagasan-gagasan yang dibangunnya. Abu Hanifah memasukkan adat sebagai salah satu prinsip istihsan-nya. Dalam ijtihadnya, Abu Hanifah memanfaatkan adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan sosial yang beragam dari masyarakat sebagai sumber hukum sekunder sepanjang hal tersebut tidak berlawanan dengan nass maupun spirit syari’ah. Demikian juga dengan Imam Malik yang mendudukkan adat masyarakat Madinah sebagai bagian penting dalam teori hukumnya.[56]

Setelah menyimak dan mengamati realitas Islam yang sebenarnya terjadi pada masa awal perkembangannya di kota Makkah adalah berasal dari tradisi lokal Arab pra-Islam maka dapat dikatakan bahwa tidak ada istilah “Islam Otentik, Islam Murni, syari’at Islam yang baku”. Sebagai wujudnya bahwa Islam bukan semata-mata hukum Tuhan yang sakral dan tidak bisa diubah oleh manusia mana pun. Di sini harus mampu membedakan mana yang harus tetap dan tidak boleh berubah-ubah yaitu wahyu Allah yang terdapat di dalam al-Qur’an dan mana yang boleh diubah-ubah oleh pemaham wahyu, yaitu dalam menafsirkan wahyu Allah yang terdapat di dalam al-Qur’an.  Penafsiran sebuah ayat dapat selalu diperbarui sesuai dengan perkembangan pemahaman yang lebih benar dan sesuai dengan era kekinian.
Syari’at Islam harus tetap membumi di mana pun ia akan diterapkan dan dipraktikkan, karena sifatnya yang luwes, adil, demokrasi, toleran, empati,  humanis, nasionalis, tidak diskriminatif, menghormati tradisi lokal, menghargai wanita, terbuka dan anti teror.
Nur Syam,[57] memberi Istilah ‘Islam kolaboratif’, yaitu adanya sebuah  bangunan Islam yang bercorak khas, mengadopsi unsur lokal yang tidak bertentangan dengan Islam dan menguatkan ajaran Islam melalui proses transformasi secara terus menerus dengan melegitimasinya berdasarkan atas teks-teks Islam yang dipahami atas dasar interpretasi elit-elit lokal. Islam yang bernuansa lokalitas tersebut hadir  melalui tafsiran agen-agen sosial yang secara aktif berkolaborasi dengan masyarakat luas dalam kerangka mewujudkan Islam yang bercorak khas, yaitu Islam yang begitu menghargai terhadap tradisi-tradisi yang dianggapnya absah seperti ziarah kubur suci, hormat terhadap masjid suci dan sumur-sumur suci. Medan budaya tersebut dikaitkan dengan kreasi para wali atau penyebar Islam awal di Jawa. Motif untuk melakukan tindakan tersebut adalah untuk memperoleh berkah. Melalui bagan konseptual in order to motif atau untuk memperoleh berkah, ternyata juga penting dilihat dari bagan konseptual because motive atau orang pergi ke tempat keramat adalah disebabkan oleh keyakinan bahwa medan-medan budaya tersebut mengandung sakralitas, mistis dan magis. Namun demikian, keduanya tidak cukup untuk menganalisis tindakan itu, maka diperlukan bagan konseptual pragmatic motive yaitu orang pergi ke medan budaya disebabkan oleh adanya motif pragmatis atau kepentingan yang mendasar di dalam kehidupannya.

C.    Relevansi Pemikiran Khalil Abdul Karim Tentang Hubungan Syari’at Islam dan Tradisi Lokal Zaman Jahiliyah Dengan Era Sekarang di Indonesia.
Dalam sub ini akan dibaca tidak hanya pemikiran Khalil Abdul Karim, tetapi juga akan disajikan pendapat tokoh lain yang turut mendukung jejak langkah Khalil Abdul Karim, yaitu Prof. Yudian sang pendobrak sebagai ‘Orientalis Plus’ yang menurut penulis sejalan dengan ide-ide Khalil Abdul Karim dalam menentang adanya penafsiran-penafsiran harfiyah terhadap sumber Islam (al-Qur’an dan Sunnah) oleh orang-orang yang telah dimakluminya berasal dari pendidikan pas-pasan dalam ilmu-ilmu keislaman ( SLTA, Pondokan dan Doktorandus).
Selama mengikuti tatap muka dengan Prof. Yudian dalam menempuh mata kuliah Pemikiran Islam Kontempor  di Indonesia, saya dapat menangkap apa yang sebenarnya terjadi dari segi otoritas perkembangan keilmuan di Indonesia. Prof. Yudian hadir dengan segenap kritik tajam dan solusi terbarunya untuk mendobrak sistem pendidikan Pesantren dan sekolah yang dianggap mapan selama ini, ternyata banyak ditemukan kendala di sana sini yang sungguh telah merugikan masa depan anak bangsa Indonesia, karena mereka telah mengenyam pendidikan yang berkualitas rendahan (tidak mutu).
Untuk mengawali pembahasan dalam sub ini dimulai dari ungkapan Khalil Abdul Karim sebagai berikut[58] : “Metafora al-Qur’an tentang “zaman jahiliyyah” dan “zaman kegelapan” seringkali dirubah menjadi mekanisme di dalam pikiran yang bekerja menghilangkan fakta-fakta tentang adanya sistem religio-sosio-kultural yang hidup dan menentukan di kalangan masyarakat Arab pra kenabian Muhammad saw, selama masa kenabian, bahkan tetap dipertahankan hingga masa Khulafa’ al-Rasyidin. Bahkan diabadikan dalam korpus-korpus fiqh, tafsir, akhlaq, teologi hingga ke masa sekarang dan disebarkan ke seluruh penjuru dunia. Tidak sekedar menghilangkan fakta-fakta historis zaman jahiliyyah, cara berfikir seperti ini bahkan juga menempelkan stigma serba buruk, serba bodoh dan serba gelap terhadap zaman jahiliyyah untuk suatu pretensi “pemurnian” dan “idealisasi” sedemikian rupa terhadap syari’at dan bangunan doktrin keislaman. Di tangan orang yang salah, cara berfikir seperti ini bisa berubah menjadi keyakinan buta dan menjadi alat untuk menghancurkan setiap ajaran atau pemikiran atau bangunan sosio-kultural yang dianggap “tidak murni” Islam. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa seolah-olah Islam itu identik dengan Arab dimana pun Islam itu berada. Islam boleh berpindah tempat dalam hal perluasan syiar Islam tapi harus tetap dalam bentuk Islam Arab, tidak ada Istilah seperti Islam ala Indonesia yang sudah dilebur dengan tradisi Indonesia.

Islam memamg datang ke suatu wilayah yang tidak vakum budaya. Makanya, ketika Islam datang ke wilayah tertentu maka konstruksi lokal pun turut serta membangun Islam sebagaimana yang ada sekarang. Dalam hal ini tidak ada yang salah bila dirunut pada realita sejarah lahirnya Islam awal di kota Makkah yang nyata-nyata berhadapan dengan tradisi lokal Arab pra-Islam yang demikian rupa seperti yang telah diurai secara rinci dan panjang lebar oleh Khalil Abdul Karim dalam bukunya ‘Syari’ah : Sjarah Perkelahian Pemaknaan’. Hasilnya adalah Islam kolaburatif.
Syari’at  Islam zaman Nabi saw dipahami sebagai citra ideal yang harus diaplikasikan di seluruh kondisi zaman dan tempat. Sebagai misal adalah terkait dengan jilbab di Indonesia. Dalam penggunaannya, apa yang dimaksud dengan jilbab seringkali dipahami sebagai apa yang digunakan oleh masyarakat Arab. Hal ini tentunya kurang tepat karena jilbab bagi masyarakat Indonesia seharusnya disesuaikan dengan kondisi, situasi dan budaya Indonesia. Setiap daerah di Indonesia mempunyai kebiasaan yang berbeda dalam berpakaian. Di samping itu, mereka juga mempunyai pakaian tradisional tersendiri, seperti kebaya yang banyak digunakan oleh masyarakat Jawa dan baju kurung yang ada di Minang. Kalau dilihat, karakter pakaian tersebut hampir mirip dengan ‘jilbab’ gaya Arab. Bedanya hanya berkaitan dengan masalah penutup kepala. Hal ini dapat dimengerti, berkaitan dengan karakter masyarakat Indonesia yang memandang daerah kepala sebagai bagian yang ‘biasa nampak’. Hal tersebut tentunya sangat berlainan dengan keadaan di daerah lain, khusunya Jazirah Arab. Perbedaan inilah yang seharusnya menjadikan dasar untuk merumuskan hukum, sesuai dengan kaidah “al-hukm yadur ma’al ‘illat wujudan wa ‘adaman”.

Di sinilah letak strategis dari pemikiran Khalil Abdul Karim bahwa dalam rangka penyelesaian konflik yang sudah terjadi secara berkepanjangan dan berlarut-larut harus ditemukan titik terang secara substansi, apa yang menjadi sumber dari semua konflik yang telah mlahirkan ketegangan antara Islam, syari’at Islam dalam mnghadapi kearifan lokal di mana pun ia berada.

Jadi merunut pemikiran Khalil Abdul Karim yang sudah di urai di dalam makalah  ini, yaitu harus dikembalikan pada realitas Islam pada masa Islam awal tentang bagaimana proses Islam itu diturunkan dan diajarkan oleh Nabi Muhammad saw pada masyarakat Arab pra-Islam. Pada kenyataannya Islam begitu arif dan bijaksananya membaca situasi dan kondisi masyarakat yang ada di sekitarnya. Islam tidak pernah begitu keras menentang, memberantas, menolak, memberangus dan memusnahkan apa yang sudah ada.

Teori Khalil Abdul Karim trsebut sangat relevan bila ditawarkan menjadi solusi terhadap gerakan purifikasi agama (pemberantasan dari segala amalan agama yang dianggap bi’ah) yang telah dipraktikkan selama ini di Indonesia dengan menyebar lebel ‘kembali kepada Islam murni’.

Lebih lanjut bisa dibaca tentang apa yang menjadi analisa kritis Prof. Yudian dalam bukunya Jihat Ilmiah Dari Tremas ke Harvard, (Psantren Nawesea Press, Yogyakarta, 2009) :
“bahwa kaum reformis pendukung gerakan Kembali kepada Qur’an dan Sunnah tidak memiliki metode tafsir yang sistematis. Fatwa-fatwa Muhammadiyah, tidak menunjukkan penalaran tafsir. Banyak keputusan Majlis Tarjih hanya menjejer ayat Qur’an plus Hadis, tetapi tanpa penjelasan. Demikian kata Prof. Yudian telah terjadi adanya sebuah penafsiran secara harfiah, dikarenakan kaum reformis pada umumnya “baru sekedar” doktorandus dalam ilmu-ilmu keislaman, sehingga mereka belum menjadi mujtahid mandiri. Di sisi lain, karena mereka Wahabi dalam hal akidah dan fikih.”[59]

Saya sangat sependapat dengan uraian-uraian yang disampaikan oleh Prof. Yudian selama tatap muka di kelas maupun analisa-analisa tajam dan kritis dari karya-karyanya. Saya katakan demikian karena saya telah menjadi saksi mata adanya konflik dan ketegangan antara praktek ibadah pengikut NU dan Muhammadiyah terutama yang terjadi di kampung halaman tempat saya hidup di masa kanak-kanak. Ternyata pelakukanya hanya orang-orang yang tidak pernah menempuh pndidikan di bangku kuliah, tetapi mereka selalu menganggap pendapatnyalah yang paling benar dan yang lain dianggap salah dan para pelaku agama menyimpang alias bid’ah yang harus dimusuhi dan tidak boleh diikuti pendapat dan praktiknya di lapangan. Antara  NU dan Muhammadiyah harus pisah masjid, orang NU tidak boleh sholat di masjid Muhammadiyah dan sebaliknya orang Muhammadiyah tidak boleh sholat di Masjid NU. Betul-betul harfiah dalam memahami Islam dari sumbernya.

Padahal yang mereka  pertentangkan dan perolok-olok hanya sekitar adanya tahlilan, membaca ushali dalam shalat, membaca do’a qunud pada waktu sholat subuh. Suatu hal yang tidak perlu telah dijadikan sumber keributan antara klompok NU dan Muhammadiyah. 


IV.             Simpulan
Dari pembahasan dalam makalah tersebut di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.      Tradisi-tradisi local Arab Pra-Islam yang telah disebut hanyalah sampel-sampel tradisi yang berpengaruh dalam Islam, dengan kata lain disetujui, diadopsi, difoto copy, atau dilegitimasi oleh Islam. Namun masih lebih dari tradisi-tradisi yang belum terungkap yang dimungkinkan juga bernasip sama yang telah dilegitimasi oleh Islam.
2.      Pemikiran Khalil Abdul Karim merupakan sebuah pencerahan sebuah rekonstruksi syari’at Islam dalam rangka membongkar kebekuan kajian Islam yang selama ini hanya berputar-putar di satu tempat, harfiah, dan dangkal untuk mampu membongkar paradigma yang sudah dianggap mapan dan ternyata sesat dan menyesatkan. Seperti anggapan adanya hukum Islam adalah hukum Tuhan yang sakral harus dibaca dilaksanakan sesuai dengan apa yang sudah tertera di dalamnya tanpa harus peduli dengan kearifan lokal yang ada.
3.      Pemikiran Khalil Abdul Karim sangat relevan untuk diterapkan di mana saja termasuk di Indonesia yang sedang dirundung konflik yang disebabkan adanya interpretasi harfiah yang sesat dan menyesatkan. Kembali untuk membaca realita sejarah Islam dan syari’at Islam masa awal kenabian Muhammad saw merupakan solusi yang tepat untuk memahami Islam dan syari’at Islam secara substantive, yaitu Islam yang ramah lingkungan, damai, demokrasi, adil, toleran, empati, menghormati sesama, menghargai tradisi yang sudah ada dan lain-lain, yang kesemuanya tidak seperti isu-isu Islam yang sebaliknya : keras, tidak manusiawi, menakutkan, kaku, tidak toleran, tidak demokrasi, diskriminasi, merendahkan perempuan dan lain-lain.  


















DAFTAR PUSTAKA

Abbas Mahmud al-Aqqad, Haqa’iq al-Islam wa Abathil Khushumihi, Cet. I,  al-Mu’tamar al-Islami, Mesir,  1376 H/1957 M

Ahmad Fathi al-Bahnesy, Madkhal al-Fiqh al-Jina’I al-Islami

Ahmad asy-Syirbashi, al-Mu’jam al-Iqtishadi al-Islami

Ali bin Muhammad bin Ali al-Jurjani, At-Ta’rifat, Cet. I, Ibrahim al-Abiyari (ed & pengantar),  Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut,  1405 H/1985 M

Abdul Kadir Audah, at-Tasyri’ al-Islam, “bagian umum”, Nadi al-Qushat, 1984

Abu Ubaid al-Qasim bin Salam, al-Amwal, Cet. III, Syaikh Muhammad Khalil al-Harras (ed),  Dar al-Fikr, Mesir, 1396 H/1976 M

Husain Fauzi an-Nazar, al-Islam wa as-Siyasah, Dar al-Ma’ruf, Pesawat,  1985

http://en.wikipdia.org/wiki/Khalil_Abdel_Karim


 http://mmawhib.blogspot.com/2008/12/mengenal-khalil-abdul-karim.html

Khalil Abdul Karim, Historisitas Syari'at slam,  terj. M. Faisol Fatawi,  Pustaka Alief,  Yogyakarta, 2003
_______,Syari’ah : Sejarah Perkelahian Pemaknaan, terj. Kamran As’ad, Judul Asli : al-Judzur at-Tarikhiyyah li asy-Syari’ah al-Islamiyyah,  LkiS, Yogyakarta,  2003
________,Relasi Gender Pada Masa Muhammad dan Khulafa’ al-Rasyidin, terj. Khairon Nahdiyyin, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997

________, Negara Madinah : Politik Penaklukan Masyarakat Suku Arab,  LKiS,  Yokyakarta, 2005

Koentjaraningrat,  Kebudayaan Jawa,  Balai Pustaka, Jakarta,  1984
Majid Khadduri,  Perang dan Damai Dalam Hukum Islam, terj. Kuswanto.
 Tarawang Press,Yogyakarta,  2002

Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah wa al-Wilayat ad-Diniyyah, Cet. III,  Maktabah, wa Mathba’ah Mushtthafa al-Babi al-Halabi wa Auladuhu, Mesir,  1393 H/1973 M

Muhammad Dhiya’uddin ar-Rais, al-Kharraj wa an-Nuzhum al-Maliyyah li ad-Daulah al-Islamiyah

Mohammad Damami, Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa Di Kotamadya Yogyakarta, dalam Jurnal Penelitian Agama Nomor 20, Th. VII September-Desember 1998 (Pusat Penelitian IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta).

Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, Usul al-Hadis, ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu, cet. ke-3,  Dar al-Fikr, Damaskus, 1975

Muhammad Ahmad Jadul Maula, Ayyam al-‘Arab fi al-Islam

Nur Syam (Guru Besar Sosiologi pada Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel) , Islam Psisiran dan Islam Pedalaman : Tradisi Islam di Tngah Perubahan Sosial, (Makalah)
Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter : The Experience of Indonsia,  Logos,Jakarta,  2001

As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, juz III, Dar at-Turats, Mesir,  tt

Al-Qadhi Abu Ya’la al-Farra’, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Cet. III,  Syirkah, Maktabah, wa Mathba’ah Mushthafa al-Babi al-Halabi wa Auladuhu, Mesir,  1366 H/1966 M

Sir Mohammad Iqbal, The reconstruction of Religious Thought in Islam,  Oxford University-Humprey Milford, London,  1934

Syekh Muhammad Ahmad Thanthawi, al-Madkhal ila al-Fiqh al-Islami, Cet. I,  Maktabah Wahbah, Mesir,  1408 H/1987 M

Taufiq Sulthan al-Buziki, Dirasah fi an-Nuzhum al-‘Arabiyyah al-Islamiyyah, Cet. III,  Irak : Jami’ah al-Maushil, Irak,  1988

UNESCO, Mu’jam al-‘Ulum al-Ijtima’iyyah, Cet. I,  al-Haiah al-Mishriyyah al-Ammah lil-Kitab,  Kairo, 1975

Yudian Wahyudi, Jihad Ilmiah Dari Tremas Ke Harvard,  Pesantren Nawesea Press, Yogyakarta,  2009





















[1] Sir Mohammad Iqbal, The reconstruction of Religious Thought in Islam, (London : Oxford University-Humprey Milford, 1934), h. 2
[2]  Koentjaraningrat,  Kebudayaan Jawa, (Jakarta : Balai Pustaka, 1984), h. 190
[3] M. Khoirul Muqtafa, Rekonsiliasi Kultural Islam dan Budaya Lokal, dalam Nilai-Nilai Pluralisme Dalam Islam, Suririn (ed), (Bandung : Penerbit Nuansa, 2005), h. 52
[4] Mohammad Damami, Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa Di Kotamadya Yogyakarta, dalam Jurnal Penelitian Agama Nomor 20, Th. VII September-Desember 1998 (Pusat Penelitian IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta).
[5] Khalil Abdul Karim, Syari’ah : Sejarah Perkelahian Pemaknaan, terj. Kamran As’ad, Judul Asli : al-Judzur at-Tarikhiyyah li asy-Syari’ah al-Islamiyyah, (Yogyakarta : LkiS, 2003), h.vii
[6] http://en.wikipdia.org/wiki/Khalil_Abdel_Karim
[7] http://mmawhib.blogspot.com/2008/12/mengenal-khalil-abdul-karim.html
[8] Khalil Abdul Karim, Syari’ah …,  h. 1
[9] QS. Ali Imron (3) : 97
[10] Kuliah ba’da subuh di Pesantren al-Chalil Yogyakarta (komplek polri Gowok Blok C 1 No. 94)
[11] Ali Husni al-Kharbuthali, al-Ka’bah ‘ala Murri al-‘ushul, dalam Iqra’ edisi Maret 1967, (Kairo : Dar al-Ma’arif), h. 24
[12] Khalil Abdul Karim, Syari’ah . . . , h. 7
[13] Ibid, h. 7-8
[14] Ibid, h. 8
[15] QS. Al-Baqarah (2) : 185

[16] QS. Al-Qadr (97) : 3
[17] Khalil Abdul Karim, Syari’ah . . ., h. 9
[18] QS. Al-Baqarah (2) : 217
[19] QS. Al-Ma’idah (5) : 2
[20] Khalil Abdul Karim, Syari’ah ..., h.10
[21] QS. Maryam (19) : 54
[22] Al-Qurthubi, al-Jami’ al-Qur’an, dalam tafsir Surah al-Jumu’ah
[23] QS. Al-Jumu’ah : 9
[24] Abdul Kadir Audah, at-Tasyri’ al-Islam, “bagian umum”, (Nadi al-Qushat, 1984), h. 54
[25] QS. An-Nisa’ (4) : 3
[26] Abu Ubaid al-Qasim bin Salam, al-Amwal, Cet. III, Syaikh Muhammad Khalil al-Harras (ed), (Mesir : Dar al-Fikr, 1396 H/1976 M), h. 636
[27] Muhammad Dhiya’uddin ar-Rais, al-Kharraj wa an-Nuzhum al-Maliyyah li ad-Daulah al-Islamiyah, h. 127
[28] Khalil Abdul Karim, Sejarah …, h. 71-73
[29] UNESCO, Mu’jam al-‘Ulum al-Ijtima’iyyah, Cet. I, (Kairo : al-Haiah al-Mishriyyah al-Ammah lil-Kitab, 1975), h. 91
[30] Khalil Abdul Karim, Syari’ah . . . , h. 77 & 80
[31] Abbas Mahmud al-Aqqad, Haqa’iq al-Islam wa Abathil Khushumihi, Cet. I, (Mesir : al-Mu’tamar al-Islami, 1376 H/1957 M), h. 251
[32] Ahmad Fathi al-Bahnesy, Madkhal al-Fiqh al-Jina’I al-Islami, h. 175
[33] Ali bin Muhammad bin Ali al-Jurjani, At-Ta’rifat, Cet. I, Ibrahim al-Abiyari (ed & pengantar), (Beirut : Dar al-Kitab al-Arabi, 1405 H/1985 M)
[34] Khalil Abdul Karim, Syari’ah …, h. 95-96
[35] Syekh Muhammad Ahmad Thanthawi, al-Madkhal ila al-Fiqh al-Islami, Cet. I, (Mesir : Maktabah Wahbah, 1408 H/1987 M), h. 42
[36] Ibid
[37] Khalil Abdul Karim, Syari’ah …, h. 101
[38] Muhammad Ahmad Jadul Maula, Ayyam al-‘Arab fi al-Islam, h. 133
[39] QS. Al-Anfal : 41
[40] Ahmad asy-Syirbashi, al-Mu’jam al-Iqtishadi al-Islami, h. 224onn
[41] As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, juz III, (Mesir : Dar at-Turats, tt), h. 81
[42] Ahmad asy-Syirbashi, al-Mu’jam al-Iqtishadi al-Islami, h. 255
[43] Al-Jurjani, at-Ta’rifat, h. 76
[44] Hamidullah, al-Watsa’iq fi ‘Ahd ar-Rasul saw, h. 366
[45] Quthb Ibrahim, an-Nuzhum al-Maliyyah, h. 69
[46] Taufiq Sulthan al-Buziki, Dirasah fi an-Nuzhum al-‘Arabiyyah al-Islamiyyah, Cet. III, (Irak : Jami’ah al-Maushil, 1988), h. 30
[47] Husain Fauzi an-Nazar, al-Islam wa as-Siyasah, (Mesir : Dar al-Ma’ruf, 1985), h. 112
[48] Khalil Abdul Karim, Syari’ah …, h. 135-137
[49] Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah wa al-Wilayat ad-Diniyyah, Cet. III, (Mesir : Maktabah, wa Mathba’ah Mushtthafa al-Babi al-Halabi wa Auladuhu, 1393 H/1973 M), h. 7
[50] Al-Qadhi Abu Ya’la al-Farra’, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Cet. III, (Mesir : Syirkah, Maktabah, wa Mathba’ah Mushthafa al-Babi al-Halabi wa Auladuhu, 1366 H/1966 M), h. 23
[51] Hkalil Abdul Karim, Relasi Gender Pada Masa Muhammad dan Khulafa’ al-Rasyidin, terj. Khairon Nahdiyyin, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997), h. v

[53]Majid Khadduri. 2002. Perang dan Damai Dalam Hukum Islam, terj. Kuswanto.
(Yogyakarta: Tarawang Press, 2002), . h. 19; Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter : The Experience of Indonsia, (Jakarta : Logos, 2001), h. 4

[54] Sunah taqririyyah merupakan legitimasi Nabi terhadap ucapan atau perbuatan
sahabat, baik dengan cara diam dan sebagainya. Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, Usul al-Hadis, ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu, cet. ke-3.( Damaskus: Dar al-Fikr., 1975),  h. 20;
[55] Retno Lukito, Islamic Law…, h. 11
[56]Ratno Lukito, Islamic Law…, hlm. 21. Secara logis, Imam Malik berpandangan bahwa
karena sebagian besar masyarakat Madinah merupakan keturunan langsung sahabat, dan Madinah merupakan tempat Rasulullah menghabiskan sepuluh tahun terakhir kehidupannya, maka praktek (adat) yang dilakukan pasti diperbolehkan, jika tidak malah dianjurkan oleh Rasulullah.

[57] Nur Syam (Guru Besar Sosiologi pada Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel) , Islam Psisiran dan Islam Pedalaman : Tradisi Islam di Tngah Perubahan Sosial, Makalah dalam

[58] Rewiew buku Khalil Abdul Karim,  Sejarah
[59] Yudian Wahyudi, Jihad Ilmiah Dari Tremas Ke Harvard, (Yokyakarta : Pesantrn Nawesea Press, 2009), h. 7-8